Kerinduan paling Agung
Oleh F. Yussup
Adi Rustandi atau biasa di sapa Kang Adi, dosen sekaligus penulis dan aktif di beberapa bidang salah satunya seni, ia tergabung dalam grup Shoutul Haq sebagai penyanyi musik religi. Novel Kerinduan Paling Agung adalah karya terbaru dari Adi Rustandi, diterbitkan oleh Penerbit Yrama Widya cetakan I pada bulan September 2020, dengan tebal 312 halaman. Aku mendapatkan novel ini langsung dari penulisnya yang kebetulan beliau dosen saya di fakultas. Harga novel ini sesuai dengan cerita yang disuguhkan di dalamnya, harganya enam puluh ribu rupiah.
Novel ini bergenre Romance, namun sedikit dibalut
dengan nuansa religius. Jika kalian pernah membaca atau menonton film Dilan dan
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, menurutku novel ini ceritanya hampir mirip.
Sepertinya Penulis terinspirasi dari cerita di dalamnya.
Dalam novel ini pembaca akan diarahkan untuk berfokus
kepada dua tokoh; Marwah dan Hamzah. Cerita diawali dengan Marwah pindah dari
desa tempat ia dibesarkan dan menimba ilmu. Namun, masih kurang jelas alasan
mengapa Marwah pindah, lalu Hamzah dan ibunya berada di rumah sakit dengan
keadaan kritis. Alur cerita yang biasa ditemui dengan membuat pembaca
bertanya-tanya di awal, dan penulis membawa kembali potongan-potongan ingatan
dari tokoh. Lalu cerita pun dimulai.
Sinopsis:
“Hamzah dan Marwah
sudah berteman sedari kecil, Mereka bersekolah, mengaji dan bermain bersama.
Hamzah menyukai Marwah sedari kecil, ia sering mengirim surat kepada Marwah.
Surat terakhir Hamzah kepada Marwah menyatakan rasa cinta Hamzah kepada Marwah
dengan ingin menjadikannya pacar. Namun, Marwah menolak karena tak ingin
berpacaran dulu.
Semenjak masuk SMP
Marwah dan Hamzah sudah jarang sekali bertemu. Hamzah dan Marwah berbeda
sekolah, Marwah memilih sekolah yang lebih banyak mempelajari agama sedangkan
Hamzah bersekolah di sekolah negeri. Hamzah di sekolah ditakuti karena sudah
menantang anak kelas 3 dan menghajar; Doni dan Indra anak kelas 3 yang paling
ditakuti di sekolah. Hamzah pun memiliki grup band yang membuat namanya dikenal
bukan hanya di sekolah tempat ia belajar, tetapi hingga ke beberapa sekolah di
luar. Sementara Marwah fokus bersekolah dan membantu ibunya berjualan. Sejak
kecil Hamzah menaruh hati kepada Marwah Begitu pun sebaliknya, mereka sering
bertemu dan mengobrol ala anak ingusan yang sedang kasmaran.
Selepas lulus SMP
Marwah dan Hamzah meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Marwah
memilih masuk ke MA sedangkan Hamzah memilih masuk ke SMK, Marwah dan Hamzah
pun semakin sulit untuk bisa berjumpa. Marwah mencoba terbiasa dengan ketiadaan
Hamzah dalam hidupnya.
Semenjak masuk SMK
Hamzah semakin menjadi-jadi, ia tak segan-segan untuk memukuli preman-preman
yang sering memalak anak-anak sekolah sehingga Hamzah menyandang panggilan
panglima perang. Sedangkan, Marwah mengajar mengaji dan semakin bersemangat
membantu ibunya berjualan kue.
Singkat cerita, Hamzah mengalami over dosis minuman keras
yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Semenjak kejadian itu Hamzah
memulai hidup baru dengan merehabilitasi diri di pemondokan pesantren.”
***
Penulis sangat bisa membawa kembali ingatan dari tokoh
dan meleburnya menjadi kenyataan dalam sebuah kisah. Novel ini terdiri dari 35
bagian, namun ada beberapa bagian dari novel yang seharusnya dilanjut dalam
satu bagian tetapi penulis menuliskan di bagian yang lain. Menurutku dalam
penilaian subjektif dirasa kurang nyaman. Alur dari novel ini sangat tidak bisa
ditebak, dengan sangat rapi penulis membuat pembaca seakan masuk ke dalam
dunianya. Dari segi bahasa dan pemilihan kata novel ini cukup ringan untuk
dibaca, hampir tak ada istilah yang sulit dicerna oleh pembaca, mengalir
seperti mata air ketika membacanya.
Namun, ada beberapa lompatan-lompatan waktu yang
menurutku kurang jelas, salah satunya seperti yang saya nukil dari halaman 197,
“Kamu salat Isya dulu, Zah. Bentar lagi Azan.” Namun di halaman selanjutnya
berganti ke waktu Magrib dengan narasi, “Azan Magrib masih 30 menit lagi.” Aku
berprasangka sih, salah tik dari penulis atau pengeditan kurang jeli
dalam melihat kesalahan. Cerita dari novel ini mengangkat isu sederhana yang
sering hadir di sekitar kehidupan kita.
Marwah dan Hamzah berhasil mendekonstruksi makna cinta
dari sudut pandang religius, yang mana berhasil menumpahkan kalimat secara
tersirat “Cinta itu buta, Cinta itu tuli.” Marwah perempuan yang sangat taat
terhadap agama tetap mencintai Hamzah, walaupun Hamzah sudah menjadi seorang
berandal tanpa ada sedikit pun celah bagi laki-laki lain untuk
mempersuntingnya. Hamzah pun sebaliknya ia berusaha untuk bisa memantaskan diri
dan beranjak dari kegelapan dan kungkungan narkoba hanya untuk sang terkasih,
Marwah. Setidaknya sebelum takdir berkata untuk berpisah.
Dari novel ini banyak sekali hikmah yang bisa dipetik,
penokohan Marwah dalam cerita ini sangat kompleks membuat pembaca akan sedikit baper
dalam kisah cinta Marwah dan Hamzah yang abadi walaupun raga tak dapat
dipersatukan dalam ikatan. Mau bagaimana pun larangan untuk memisahkan kisah
cinta mereka, tetap akan bersua kembali. Kesabaran yang tergambar dari seorang
Marwah dan Ibunya. Seburuk apa pun seorang, jika dalam hati terdalamnya ingin
mengubah dirinya pasti itu akan terjadi. Tergambar dari seorang Hamzah yang
dari seorang berandal menjadi seorang yang saleh, dan masih banyak lagi.
***
Terima kasih atas apresiasinya.
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya.
BalasHapusditunggu etape selanjutnya kang Haji
BalasHapusMarwah dan Hamzah. merupakan dua sosok dari kalangan yang berbeda, Hamjah dari keluarga berkecukupan sedangkan Marwah penuh kesederhanaan tetapi mempunyai sama-sama memiliki kecerdasan yang tinngi. Namun disini aturan sekolah disamarkan, dapat menimbulkan pertanyaan apakah peranan sekolah bisa dikesampingkan karena siswa itu pintar atau memang dunia pendidikan sudah begitu kenyataannya saat ini.
BalasHapus