Memiliki Pemikiran Orisinal dengan Mencoba Memahami Esai Apio Ludd: Burn all Bible dan Boundaries
Dalam sebuah percakapan imajiner yang terjadi kami
membicarakan mengenai sebuah makna hidup yang sedang kami jalani sekarang;
tujuan hidup itu apa? Bagaimana seharusnya kita hidup? Apakah kita harus
mengikuti moral populer masyarakat atau bagaimana? Beberapa pertanyaan yang tak
terjawab dalam percakapan tersebut. Beberapa dari kami memang tidak pandai
dalam analisis situasi atau banyak orang miliki jika dalam sebuah diskusi,
sikap kritis terhadap situasi; bukan hanya itu, beberapa dari kami hanya
sekumpulan gagasan yang bodoh didatangkan dari sebuah pemikiran orang yang tak
pandai apalagi kritis yang kerjanya cuma diam tidur makan kemudian tidur lagi‒namun,
setidaknya masih memiliki kegiatan meskipun membosankan jika dibayangkan kalian
pasti merasa jijik, orang yang terbangun hingga 3 jam berlalu tidak melakukan
apa-apa.
Beberapa hari ini aku merasakan kebuntuan dalam menulis,
entah sebuah cerita atau pun esai. Aku mencoba mencari-cari inspirasi di
perpustakaan kecilku yang terletak di samping tempat tidurku dan di ruang arsip
yang tersimpan di samping perpustakaan kecilku, tak sangka aku menemukan sebuah
kumpulan tulisan yang ditulis oleh seseorang yang tidak pernah aku kenal
namanya sebelumnya, Apio Ludd. Aku sedikit kesusahan mencari-cari siapa Apio
Ludd, hanya sedikit sumber yang memberikan info tentang nama itu; yang berhasil
kutemukan hanya tulisan berisi nama orang lain, Feral Faun dan Wolfi
Landstreicher. Setelah membuka-buka halaman dan laman akhirnya aku bisa tahu
siapa Apio Ludd; Apio Ludd atau Feral Faun atau Wolfi Landstreicher. Apio Ludd
adalah nama samaran dari seorang filsuf anarkis kontemporer salah satu bukunya
ialah Willful Disobedience yang awalnya sebuah zine yang rutin
diterbitkan pada tahun 1996 sampai 2006.
Namun, bukan Willful Disobedience yang akan dibahas di
sini. Aku tertarik untuk sedikit membahas esai dari Apio Ludd yang berjudul
Burn all Bibel dan Boundaries serta keterkaitannya dengan absurdisme. Judul
dari esai ini menurutku jika salah dalam penafsiran maknanya atau tidak selesai
dalam membacanya bisa saja jadi kalian beneran dibakar‒ ya gimana gak
bikin takut, judulnya aja udah bisa buat orang beragama serasa
kebakaran. Membaca Burn all Bible seketika mengingatkanku pada perkataan salah
satu kawan mengenai gagasan atau pemikiran yang keluar haruslah orisinal tanpa
campur tangan orang lain, yang ketika itu aku terlalu banyak mengutip
Nietzsche; entah dari Zarathustra atau dari autobiografinya Ecce Homo‒yang
sebenarnya belum selesai kubaca.
Burn all Bible bercerita mengenai pembahasan perdebatan
dua orang egoisme yang secara terus menerus lebih memilih mengutip dari Stirner
atau Nietzsche daripada mengeluarkan gagasan orisinalnya. Apio Ludd dalam hal
ini lebih memilih mengeluarkan gagasan orisinal dan menolak mengenai
pengutipan, peminjaman pemikiran atau mendewakan sebuah buku sebagai tulisan
suci atau seorang pemikir adalah nabi menurutnya; hal itu memperlihatkan
kapasitas orang tersebut dan terlihat bahwa orang itu dungu‒yang dimaksud
menolak di sini bukan menolak secara keseluruhan, melainkan Apio Ludd memberi
peringatan kepada siapa pun agar tidak terlalu banyak mengutip suatu gagasan.
Sementara itu, dalam paragraf berikutnya Apio Ludd memberikan alternatif jika
ingin menggunakan pemikiran dari Stirner atau Nietzsche, misalnya, kalian bisa
mempelajarinya dan menekuninya dengan senyaman mungkin dengan hidup atau dunia
kalian. Namun, Apio Ludd memberikan peringatan dalam paragraf tersebut jika
kita terlalu terpaku kepada tulisan dengan menuliskan, “Anda memperlakukan
tulisan-tulisan itu seperti layaknya tulisan suci, Anda sudah tidak mengambil
ilmu dari mereka ... Anda sudah sepenuhnya memberikan hidup Anda untuk mereka;
Anda telah mengubah tulisan-tulisan itu menjadi sesuatu yang sakral yang layak
disembah.”
Burn all Bible secara umum berisi mengenai keresahan Apio
Ludd terhadap orang atau seorang pemikir yang terlalu banyak meminjam pemikiran
orang lain dan terlalu mendewakan seorang pemikir; atau menganggap suci sebuah
tulisan yang jika tanpanya akan sangat gelisah; di sinilah yang kusebut dengan
“beneran dibakar” karena jika salah ambil kalian bisa-bisa tidak akan
lagi percaya pada para perawi hadis atau lebih radikal lagi menolak kitab suci
dari agama kalian. Lebih kurang aku mengamini gagasan Apio Ludd tersebut agar
dapat menghasilkan sesuatu yang orisinal dan aku juga mengamini pendapat salah
satu kawanku yang kurang lebih sama dengan Apio Ludd, terima kasih.
Boundaries esai yang memiliki benang merah dengan Burn
all Bible yang tidak bisa aku beritahukan lebih banyak mengenai isi esainya;
karena esai ini hanya berkutat dengan keinginan untuk melampaui batas diri dan
melampaui pembatas yang membatasi diri seperti institusi: negara, agama, hukum,
ideologi, ekonomi dll., misalnya, yang dapat membuat seorang individu menjadi
kaku, mandek tidak mampu bertumbuh dan berkembang. Namun, Apio Ludd memberikan
solusi untuk menjadikan batas ini tempat pertemuan suatu hal baru, dalam hal
ini kaitannya dengan Burn all Bible ialah bagaimana individu bisa menghancurkan
pembatas untuk mendapatkan sebuah orisinalitas; antara tulisan yang ia anggap
suci atau pemikiran seorang pemikir yang ia dewakan dengan pemikiran orisinal
yang dapat ia hasilkan. Namun, aku merasa curiga dengan esai-esai ini
jangan-jangan mereka tuh satu esai yang dibagi-bagi dari 1 esai panjang,
soalnya ada 3 esai yang memiliki kesamaan dari segi isi yaitu: Burn all Bible,
Boundaries dan Godless!‒tapi untuk Godless! Sedikit melenceng, sih, menurutku
lebih ke menceritakan kenapa ia tak bertuhan. Tetapi, jika dilihat dari tahun publikasinya
berbeda-beda: Boundaries (2014), Godless! (2018) dan Burn all Bible (2019).
Lalu apa kaitannya Burn all Bible, Boundaries terhadap
Absurdisme? Seperti yang kita ketahui kalau absurdisme ialah salah satu cabang
dari aliran filsafat eksistensialisme yang dipopulerkan oleh filsuf asal
Prancis, Albert Camus. Absurdisme secara garis besar membahas mengenai
pencarian mengenai makna hidup yang akan berakhir dengan sia-sia semata, dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti di awal paragraf tulisan ini; yang menurut Camus
hanya ada satu pertanyaan filosofis yaitu bunuh diri dengan memvonis bahwa
hidup ini bernilai atau tidak bernilai sama sekali‒kan lagi bahas masalah kutip
mengutip malah pake ngutip Camus segala, gak papa lah, kan buat
penunjang dan memperkuat. Namun, absurditas tersebut dapat dihilangkan atau
ditutupi jika manusia dapat menciptakan makna hidupnya sendiri tanpa bergantung
kepada individu lain. Hubungannya dengan dua esai itu ialah bahwa manusia pada
hakikatnya harus bisa menjadi individu yang bisa berdiri dengan kakinya sendiri
tanpa berpegang pada apa pun, dengannya ia akan menjadi manusia yang bebas dan
menjadi manusia yang merdeka. Seperti contoh kecilnya membebaskan diri dari
seseorang yang selalu menganggap suci tulisan atau mendewakan pemikiran seorang
pemikir; atau kalau kata Gajus Siagian seorang snob, epigon dan plagiator‒malah
ngutip lagi, dasar! Tapi ngutip itu enak banget, astaga dahlah.
Tetapi, yang dimaksud dengan mengutip di sini ialah orang yang terus menerus menggunakan kutipan dari orang lain untuk berdiskusi atau melawan argumen orang lain, tanpa dan tidak ada sama sekali pemikiran orisinalnya. Pengutipan suatu gagasan seorang pemikir diperbolehkan sebagai penunjang dan untuk memperkuat suatu gagasan, namun bukan berarti seluruh tulisan atau argumen terdiri dari kutipan-kutipan. Seseorang harus bisa menahan diri agar sebuah argumen atau tulisan yang keluar bukan hanya sebatas kumpulan pendapat orang lain, melainkan sebuah kesimpulan yang ia buat dari berbagai kutipan. Barangkali demikian sedikit pembahasan dua esai Apio Ludd atau Feral Faun atau Wolfi Landstreicher yang masih jauh dari kata sempurna‒anjay template banget‒ karena memang ini pertama kali bagiku membahas pemikiran seorang anarkis dan aku sendiri masih belajar juga mengenai anarkisme itu sendiri. Aku di sini mencoba membahasnya secara objektif dari sudut pandang orang beriman terhadap Tuhan, mungkin, jika kalian menganggapnya masih terlalu subjektif, maaf ya. Terima kasih.
Tentang Penulis
F. Yusuf, masih belajar
menulis; pernah jadi tukang foto sama video.
Komentar
Posting Komentar