Perempuan di Cermin

             


          Sore ini aku berada di tempat kerja kawan-kawanku yang tak jauh dari terminal bus Kota K. Ruangan yang cukup luas mungkin menampung untuk 5‒7 orang di dalam, namun sekarang kami hanya bertiga. Aku duduk di kursi besi dekat ujung meja, sedangkan kawanku duduk di kursi di ujung meja di depanku dan ada yang berdiri di sampingnya. Selain itu, di depanku terhidang secangkir kopi hitam yang masih panas dan sepiring tempe goreng yang sangat tipis layaknya gaun merahmu yang tak sengaja aku robek kala itu. Kami bertiga berbincang mengenai kehidupan dan tetek bengeknya,

                        “Ayo cepat katakan, apa yang mau kau ceritakan, An.” Ujar kawanku sambil menghisap sebatang rokok dari tangannya.

Aku lupa belum memberitahukan nama kawanku, yang tadi bicara namanya Soerya ia yang duduk di kursi di seberang tempat dudukku, sedangkan yang berdiri namanya Kentjono, mereka kawan-kawanku dari SD.

Aku akan mulai bercerita mengenai kisah yang tak kira begitu pilu. Aku mengambil nafas panjang lalu mulai bercerita.

                        Jadi, ceritanya begini...

 

Pagi hari yang indah seperti biasa matahari mengintip malu-malu dari balik pohon bambu, sinarnya yang hangat menembus sela-sela jendela kamarku yang terbuat dari kenangan dan rindu. Dersik angin pagi yang menenangkan berirama dengan suara kicau burung saling bersahutan, seakan menyuruhku segera beranjak dari tempat tidur untuk segera menunaikan kepahitan hidup; kopi hitam, teh manis, nasi uduk dan gorengan menungguku di atas meja makan.

“Mas, bangun! Kalau tak mau bangun makannya, tak kasih kucing nih,” sayup-sayup suara indah menyentuh daun telingaku, ya, itu suara istriku.

Maklum seorang pengangguran yang setiap hari lupa waktu untuk tidur apalagi bangun sesukanya saja. Sebenarnya aku bukan seorang pengangguran seperti yang para tetangga lihat, aku seorang seniman, aku ini seorang pelukis kelas dunia yang akan menyaingi Raden Saleh bahkan Salvador Dali; berangan-angan dulu saja. Hari ini aku bangun pagi-pagi, karena hari ini adalah hari di mana karya lukisku pertama kalinya mendapatkan undangan untuk dapat dipajang di sebuah pameran seni rupa yang digelar di kota K, dalam undangan tertulis kalau pameran ini akan menghadirkan karya para pelukis dari seluruh dunia.

Aku beranjak dari tempat tidur, duduk di samping tempat tidurku dan mulai mengkhayalkan hal-hal yang tak masuk akal; lima menit berselang aku keluar dari kandang yang sering kusebut kamar itu. Meja makan yang berhiaskan nasi uduk, kopi hitam, teh manis, dan gorengan pun merasa terheran-heran, pengangguran bisa juga bangun pagi ternyata.

“Kamu beli nasi udak di mana hari ini?” tanyaku “biasalah, di Mbok Iyah,” jawabnya, “tapi, rasanya beda, atau jangan-jangan! Aku diracun pagi dan wanita cantik di depanku, ah tidak!”        Wanitaku tersenyum malu mukanya memerah.

Aku menikmati pagi hari ini dengan cara yang berbeda dari pagi hari biasanya. Aku duduk di teras rumah sambil menikmati kopi hitam yang biasanya pahit pun menjadi manis di pagi hari ini; beberapa lembar koran yang baru saja diantar pak Warjo; pisang goreng; dan kemerdekaan para kaum buruh yang aku baca di koran.

“Kota K Mengadakan Pameran Seni Rupa Terbesar se-Asia,” lebih kurang seperti itu headline di koran pagi ini.

            Wanitaku menghampiriku di teras rumah, aku sedang leha-leha seperti biasanya. Renkuas namanya, aku bertemu dengannya ketika sedang berkunjung ke sebuah perhelatan festival seni rupa di kota B. Kala itu ia sedang mewawancarai salah satu pelukis beraliran pop surealis ternama, mas Roby Dwi Antono. Malu-malu aku menghampiriya, hanya untuk sekadar menyapa bahkan tak terpikir lebih dari menyapa; kutatap mata coklatnya yang memancarkan cahaya menembus ke dalam pikiran.

                        “Mas, masih ingat kah pertama kita ketemu di mana? Lalu aku sedang apa?” tanya Renkuas padaku, “inget dong, kamu lagi wawancarain Mas Roby,” jawabku pada Renkuas.

                        “Iya, Mas. Aku kepikiran buat kembali ke dunia jurnalis lagi, Mas. Buat bantu-bantu Mas juga cari tambahan biaya hidup, semalem teman aku nawarin kerjaan di koran Judul katanya lagi cari editor sama reporter. Syukur-syukur bisa jadi editor, biar ndak harus turun ke lapangan kaya dulu lagi. Selain itu juga aku bosan di rumah terus. Mas gak keberatankan aku kerja lagi?”

            Semenjak menerima lamaran dariku lalu menikah, Renkuas memutuskan untuk berhenti menjadi jurnalis karena ingin fokus mengurus keluarga, katanya.

                        “Yo itu keputusanmu, As. Aku ndak bakal larang kamu buat kemabli lagi jadi jurnalis, tapi kudu inget waktu dan jaga kesehatan kamu. Kamu sering lupa jam kerja, bablas saja sampe pagi kalau lagi nulis berita.” Ujarku pada Renkuas, sekadar mengingatkan padanya agar tidak kerja melebihi kapasitasnya.

“Pergi hari ini ke kantor Judul?” Tanyaku, “iya, Mas. Maafin aku ya gak bisa nemenin kamu.” Jawabnya sedikit murung merasa bersalah, “tak apa, As. Aku hari ini berangkat pakai motor saja, kamu pakai mobil ya.”

            Tak terasa aku menghabiskan pagi dengan bercakap-cakap bersama Renkuas yang sangat jarang sekali terjadi; syahdan, kunikmati setiap detik pagi ini dengan menatap wajah indah Renkuas. Sementara itu, arloji sudah menujukan pukul 8, aku bergegas mandi dan bersiap-siap pergi menghadiri yang sedari dahulu kuimpikan. Sayangnya Renkuas tidak bisa ikut menemaniku untuk datang ke pameran tersebut karena ia harus datang ke kantor koran Judul untuk melamar pekerjaan.

            Setelah aku dan Renkuas selesai berbenah memantaskan diri untuk kesibukan masing-masing, Renkuas pergi lebih awal dariku karena ia takut terlambat datang ke kantor lalu lamarannya ditolak. Sedangkan aku masih sibuk mempersiapkan bilamana nanti ada yang bertanya pada hasil lukisanku.

            Di perjalanan aku banyak melihat keindahan pagi hari yang sangat jarang aku lihat, bukit di kanan kiri menjulang menujukan kegagahannya, pohon-pohon rindang menyelimuti sepanjang perjalanan dan angin pagi yang membelai pipi. Sesampainya di tempat pameran, aku mendapati di gawai ada pesan dari Renkuas, barangkali mengabari kalau ia sudah sampai di kantor Judul.

                        “Salam, apakah ini benar Mas Arkan suaminya Renkuas? Renkuas tertabrak mobil di depan kantor Judul saat mau nyebrang, keadaannya sekarang sedang kritis. Renkuas sekarang ada di rumah sakit. Saya pakai gawainya Aas buat ngabari Mas.”

            Aku kaget terdiam mematung membaca pesan dari Renkuas. Aku bergegas sebisa mungkin ke rumah sakit, tanpa sadar aku memacu motor dengan sangat cepat. Rasa cemas menyambangi hati serupa guillotine menyambar leher Louis XVI. Sesampainya di rumah sakit, seorang perempuan berlari ke arahku dan mengatakan, “Renkuas sudah meninggalkan kita, Mas.” Serupa badai yang menghancur seisi ladang yang siap panen ketika aku mendengar perempuan itu berkata demikian, aku menangis terdiam mematung dalam pelukan perempuan itu.

***

Matahari masih terbit. Senja tetap jingga. Malam pun tetap kelam. Di meja dekat jendela masih terlihat bunga mawar merah, dan kau masih menyisakan luka. Mungkinkah ini hanya sebuah ilusi saja?

Sore ini aku terbangun dari mimpi buruk yang tak kira kejamnya memisahkanku dari kenyataan. Aku beranjak dari tempat tidur, duduk di samping tempat tidur dan mulai mengkhayalkan hal-hal yang tak masuk akal, termasuk kapan bisa menjadi seorang seniman ternama dan bisa menikahimu. Di sudut ruang kamar terlihat sebuah lukisan yang belum selesai kukerjakan, potret seorang perempuan mengenakan kebaya berwarna merah tua dengan rambut disanggul menghadap ke arah cermin; kunamakan lukisan itu tanpa nama dan makna.

 

Dari kejauhan, aku berdoa

“Semoga kita bersama di Suralaya”

 

Dersik angin serupa tragedi Oedipus

Menemaniku dalam lamunan

“Lukisanku akan menyisakan kisah”

 

Kemarin, sedikit patah hati

Sampai tak sempat meminta maaf

Aku, tak sanggup untuk memulai

 

Seorang dari jauh berteriak,

Ia berkata

“Lihat wanitamu, ia akan datang”

 

Beberapa bait puisi yang datang dalam lamunan sambil memandangi lukisan yang belum selesai itu, tak kiranya aku terbawa ke dalam oleh pandangan perempuan dalam cermin di atas kanvas karena kuas.

***

Tentang Penulis

F. Yusuf, masih belajar menulis, pernah jadi tukang foto sama video.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerinduan paling Agung

Memiliki Pemikiran Orisinal dengan Mencoba Memahami Esai Apio Ludd: Burn all Bible dan Boundaries