Cermin Retak

 Karya Sri Hidayah

Aku selalu berharap semua akan baik-baik saja. Kucing korban tabrak lagi tempo hari semoga baik-baik saja, anjing yang dipukul majikannya semoga baik-baik saja, remaja yang teriak karena putus dengan pacarnya semoga baik-baik saja. Semoga kita selalu punya tempat untuk baik-baik saja, walau kadang banyak tidak baiknya, semoga baik-baik saja. Hari ini aku menulis ditemani azan yang berkumandang, jendela kamar yang masih terbuka, sunyi dan angin dari kipas kecil merek GMC. Kemarin aku mendengar salah seorang teman bercerita tentang hidupnya, “ibu kandungnya selalu bekerja keras, banting tulang untuk menghidupi keluarganya, dia masih mempunyai suami, sehat walafiat, masih gagah dan masih mampu untuk mencari uang dengan pendapatan seratus ribu rupiah per hari. Katanya, suami si ibu itu memilih hidup menganggur, dengan kepulan asap rokok dan kopi kapal api yang menemaninya setiap hari. Si ibu sangat mencintai suaminya, rela berkorban apa pun untuknya” katanya, “BODOH!!” kataku dalam hati, dia melanjutkan, “aku lahir dari kedua pasang manusia itu, aku dititipkan tuhan kepada orang tua yang salah satu dari mereka bahkan belum siap untuk mempunyai buah hati yang harus dididik, moralnya masih nol. Bapakku seorang pecundang yang bisanya hanya main perempuan, aku sebagai pemain protagonis tidak bisa melawan, pun ibu sama saja, kami sama-sama bodoh” percakapan kemudian mulai serius saat matanya mulai sayu dan kosong, “dulu saat SMA, aku pikir hidupku baik-baik saja, namun aku salah. Puncaknya ketika aku hendak menghadapi Ujian Nasional (UN). Seperti yang kalian tahu, UN selalu menyita waktu banyak siswa untuk belajar ekstra, sudah harus belajar dari pagi sampai siang, ditambah lagi bimbel sepulang sekolah. Kami dijejali materi-materi yang membuat kepala kami pusing, kami tidak paham apa maksud Mba dan Mas guru melakukan ini kepada kami”.

“Setelah menghadapi semua hal menyebalkan di sekolah, aku ingin pulang dan meregangkan otot, dan otakku yang kaku. Kamu tahu apa yang terjadi saat aku membuka pintu? Si pecundang itu melemparkan wajan ke arah ibu dan hendak mengenaiku, gila bukan? Saat itu, kuharap dia bukan bapakku” dia menghela nafas sejenak dan melanjutkan ceritanya, “bukannya meminta maaf atas perilaku setannya, si pecundang itu menatap ke arahku dengan tatapan marah dan berkata ‘ini lagi anak satu baru pulang, mau jadi apa kamu pulang jam segini, hah? Mau jadi pelacur seperti ibumu?’ sebagian matanya hampir keluar menatap ke arahku. Aku perlahan menghampirinya, rasanya seluruh darah dalam tubuhku naik ke kepala dan ingin meledak saat itu juga. Saat aku di hadapannya, rasanya aku ingin meludahi, memukul wajahnya dan menusukkan pisau dapur di lehernya beberapa kali sampai dia minta ampun dan bersujud kepada ibu dan aku. Namun nyatanya aku hanya bisa diam sambil menatap matanya dengan penuh amarah dan dendam, lalu setelah itu aku masuk dan mengunci diri dikamar” kali ini matanya mulai berbinar, jemarinya mulai mengepal.

“Aku ingin mati saat itu juga. Aku mengambil cutter kecil yang biasa aku gunakan untuk menajamkan pensil-pensilku, lalu kutempelkan pada pergelangan tanganku, dan aku tarik perlahan. Iya, dia keluar darah segar, itu tidak berasa apa-apa, aku akan mati setelah ini pasti. Setelah rasa putus asa itu menyeruak dalam pikiranku, tiba-tiba aku teringat setiap kejadian menyakitkan yang aku dan ibuku dapatkan dari si pecundang itu. Aku tidak boleh mati secepat ini bukan? Harusnya yang mati ialah pecundang itu, bukan aku atau pun ibuku. Aku segera mengambil kain atau apa pun yang ada di atas kasur untuk meredakan darah yang mengalir di pergelangan tanganku, aku tidak boleh mati, aku tidak boleh mati, aku tidak boleh mati” kali ini ada satu tetes air mata yang keluar dari matanya, dia kemudian diam sejenak, lalu tersenyum sinis sambil menatapku, “aku akan membunuh si pecundang itu setelah ini” dia menatapku dalam dengan mata penuh dendam dan amarah, “kamu tahu? saat itu di luar kamar masih terdengar suara ribut, keras sekali. Ada suara keras yang menghantam tembok rumah dan dibarengi suara ibu yang berteriak kesakitan. Aku refleks, aku langsung keluar kamar, dan kamu tahu apa yang terjadi? Oleh si pecundang itu, kepala ibu dihantamkan ke tembok beberapa kali sampai aku berteriak ‘Anjing! Lepasin ibu Gue atau Gue bunuh Lu’ setelah itu aku akan masuk neraka rasanya aku tidak peduli sama sekali” bibirnya mulai bergetar, “si pecundang itu membuang puntung rokonya, dan berlalu begitu saja keluar dari rumah. Aku menghampiri ibu menanyakan apakah ibu mau kubawa ke dokter, ibu hanya bilang sambil menangis “jangan marah ke bapak nak, ibu yang salah, ibu yang salah Airy” aku benci ibu yang lemah seperti ini Winda. Aku benci bapakku, aku benci keluarga ini, harusnya hidup kami bahagia. Sebagai anak satu-satunya di keluarga, harusnya aku dipenuhi kasih sayang dan perhatian, bukan pertengkaran yang selalu terjadi setiap hari hingga membuat otak dan pikiranku terasa penuh dan hampir gila aku dibuatnya, Winda. ”Dia menyenderkan punggungnya ke tembok, kali ini air mata menyeruak tak terbendung lagi dari matanya.”

Dengan suaranya yang surau dan lirih “aku tidak mengerti apa maunya semesta, aku merasa sudah hidup seperti manusia tapi jiwaku mati, alam bawah sadar menguasai duniaku, Winda. Aku tersesat dan tidak tahu arah pulang, tidak membawa kompas ataupun peta sebagai petunjuk arah, tidak ada yang menuntunku, Winda. Aku sendirian di tengah hutan rimba tanpa bekal dan air setetes pun. Aku kehausan dan lelah, satu-satunya harapan adalah mati dengan tenang sebuah cita-cita yang mahal bukan?” aku masih terdiam, memberinya jeda sejenak, “yang kutahu, kehidupanmu lebih menyenangkan dariku, keluarga yang lengkap, pacar yang sempurna, cantik dan populer, hidup dengan materi yang cukup, aku selalu iri dengan orang sepertimu, iri melihat tuhan berlaku setidak adil ini, Winda” lirihnya, “Gue punya kanker” jawabku, dia melirikku kita sama-sama terdiam.



Editor: Fio F. Yussup

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Cermin

Kerinduan paling Agung

Memiliki Pemikiran Orisinal dengan Mencoba Memahami Esai Apio Ludd: Burn all Bible dan Boundaries