Beberapa Pandangan ke Madilog




Judul: Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika

Penulis: Tan Malaka

Penerbit: Narasi

Tebal: iv + 560 halaman

 

Salah satu buku yang paling laris di pasar terutama kalangan mahasiswa. Buku ini menurut saya adalah starter pack bagi mahasiswa baru, dulu saya membeli buku ini ketika masih menjadi maba. Alasannya? Mana saya tahu, saya kan maba; ndak gitu, saya membeli buku ini karena di lingkungan kampus waktu itu ramai perbincangan mengenai ideologi kiri, pergerakan mahasiswa, dsb. Biar disebut mahasiswa pergerakan banget gitu, akhirnya saya beli buku ini di toko buku terdekat. Namun, baru dibaca saat mendekati semester akhir, itu pun cetakan terbarunya karena yang dulu dijual ke teman. Buku ini berjudul Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika terbitan Narasi pada tahun 2019. Madilog ditulis oleh Tan Malaka dengan tebal buku iv + 560 halaman. Tan Malaka menulis Madilog lebih kurang selama 8 bulan dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.

Dalam ulasan atau resensi ini barangkali perlu dipertegas, resensi ini lebih banyak mengenai pandangan subjektif saya dibanding objektif. Saya tidak akan meresensi atau mengulas pemikiran Tan Malaka dalam bukunya. Namun, mengenai pandangan masyarakat mengenai buku ini dan mengenai kebahasaan dalam buku ini yang ngeri-ngeri sedap bacanya. Resensi ini tidak akan terlalu panjang, barangkali satu atau dua halaman saja.

Madilog dalam pandangan masyarakat yang majemuk ini sangat beragam. Salah satu pandangan yang membuat saya terkejut ialah “Buku bahaya ini, buku komunis ini. Mau jadi ateis? Hati-hati diciduk kamu.” Kalimat tersebut saya dapatkan ketika gelar lapakkan buku Ngabuburead di desa saya pada ramadan tahun lalu‒entah itu dapat wangsit dari mana. Masih banyak masyarakat yang menganggap Madilog adalah buku yang membahas mengenai komunisme. Bahkan, masih ada juga masyarakat yang menyamakan komunisme dengan ateisme. Secara keseluruhan buku ini pengantar terhadap sains, tujuan Tan Malaka menulis buku ini sepertinya ingin masyarakat Indonesia‒ pada masanya‒ terbebas dari masa kegaiban sehingga bisa beranjak untuk melawan dan tidak hanya sebatas berdoa lalu menunggu tanpa adanya sesuatu yang dikerjakan secara konkret.

Bangsa Indonesia memandang bahwa apa yang terjadi di dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan keramat di alam gaib. Cara pandang ini, disebut oleh Tan Malaka sebagai “logika mistika”. Logika ini melumpuhkan karena ketimbang menangani sendiri permasalahan yang dihadapi, lebih baik mengharapkan kekuatan-kekuatan gaib itu sendiri. Karena itu, masyarakat Indonesia mengadakan mantra, sesajen, ritual dan doa-doa. Madilog hadir dalam upaya merevolusi paradigma tersebut. Tan Malaka menawarkan solusi agar terbebas dari kungkungan kegaiban tersebut dengan mempelajari sains.  Pembahasan dalam Madilog sebenarnya sangat umum dipelajari di sekolah-sekolah terutama di sekolah menengah akhir, mulai dari teori atom Rutherford, hukum Mendel, hukum Newton, teori evolusi Darwin, relativitas Eistein, dan Matematika. Madilog pun membahas mengenai astronomi yang menjadi bahan bahasannya karena Madilog menurut saya mencoba menjelaskan kepada masyarakat bahwa semua kejadian alam itu bisa dijelaskan berdasarkan keilmuan atau sains, tidak harus selalu menggunakan pandangan ilmu-ilmu gaib. Tetapi, bahasan utamanya tetap pada Materialisme, Dialektika, dan Logika; bagaimana memandang dunia ini melalui materialisme ‒ materialisme dalam Madilog menurut saya bukan hanya semata-mata memandang semua yang ada berasal dari materi, tetapi bagaimana melepaskan pandangan dari khayalan atau takhayul atau logika mistika tadi menuju ke kenyataan ataupun agar kita tidak hanya berdoa tanpa kita melakukan apa-apa‒ bagaimana cara berdialektika, bagaimana memecahkan masalah dengan berdialektika, bagaimana menggunakan logika yang benar agar tidak sesat dalam menafsirkan sesuatu dan diakhiri dengan pandangan Madilog terhadap sains tersebut.

Tan Malaka melihat kemajuan umat manusia harus melalui tiga tahap: Dari “logika mistika” lewat “filsafat” ke “ilmu pengetahuan” (sains). Selama bangsa Indonesia masih terkungkung oleh “logika mistika” itu, tak mungkin ia menjadi bangsa yang merdeka dan maju. Madilog merupakan jalan keluar dari “logika mistika” dan imbauan seorang nasionalis sejati buat bangsanya untuk keluar dari keterbelakangan dan ketertinggalan.

Selain masalah pandangan masyarakat mengenai Madilog yang beragam, masalah Madilog tidak berhenti pada itu saja, melainkan sampai kepada isi Madilog itu sendiri ‒ isi yang dimaksud bukan isi pemikiran Madilog, melainkan kebahasaan dari Madilog. Tingkat keterbacaan buku ini menurut saya sangat rendah, saya sering tertahan di satu paragraf untuk memahami maksudnya. Entah saya yang kurang pintar dalam memahami kalimat, tata bahasanya juga mungkin berbeda pada masa ditulisnya buku ini atau barangkali editor yang tidak membuat buku ini lebih mudah dibaca. Kalimat yang ada terkadang terasa seperti kalian menerjemahkan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia menggunakan Google Translate. Buku ini termasuk buku yang harus dibaca lebih dari satu kali untuk benar-benar memahaminya‒ bagi saya.

Saya banyak belajar istilah baru dari Madilog, Tan Malaka banyak memasukkan istilah-istilah yang tidak umum ke dalam Madilog terutama dari bahasa asing seperti Jerman dan Inggris, contoh istilah yang tidak umum dipakai dalam literatur sekarang: handai tolan dan syahdan; namun, bukan itu masalah yang saya maksud dalam Madilog ‒ sekali lagi saya tegaskan resensi ini lebih banyak mengandung pandangan subjektif dibanding dengan pandangan objektif. Barangkali dari pembaca Madilog yang lain tidak merasa terganggu dengan masalah yang satu ini, tak apa; tetapi saya merasa sangat terganggu dengan masalah ini. Masalah isi dalam Madilog adalah dari kebahasaan yang sangat rumit dan sukar untuk dipahami. Banyak kalimat dalam paragraf di Madilog tidak efektif. Bahkan cenderung mengalami repetisi dan pemborosan kata; lebih parah lagi adanya repetisi paragraf, dalam satu halaman paragraf diulang dua kali. Saya sempat berdiskusi bersama teman saya beberapa waktu lalu, menurutnya struktur bahasa yang dipakai dalam Madilog terbitan ini sangat berbeda jauh dengan terbitan Kepustakaan Tan Malaka atau Widjaya ‒ saya lupa nama jelas penerbitnya ‒ yang sama menurut dia hanya pembahasan Pendahuluan Iklim, selebihnya berbeda. Penggunaan pungtuasi pun terkesan berantakan, sehingga menyulitkan pembaca dalam memahami isi dari Madilog‒ Madilog ketika akan diterbitkan entah mengalami pengeditan dalam segi kebahasaan terlebih dahulu atau tidak, entah itu dari segi struktur maupun istilah yang dipakai untuk memudahkan pemaknaan atau membacanya, saya tidak mengetahuinya. Tetapi terlepas dari itu semua, buku ini memang bertujuan memberikan gagasan untuk mengganti gagasan lama masyarakat Indonesia yang sangat percaya pada logika mistika dan tidak mau berusaha melepaskan diri dari kungkungan kegaiban itu.

Dapat disimpulkan dari beberapa bahasan di atas mengenai Madilog dan pandangan-pandangan masyarakat yang mengikutinya. Madilog terbebas sama sekali dari paham Marxisme-Leninisme atau pandangan Komunisme Internasional yang menuntut ketaatan terhadap partai komunis. Lalu kenapa buku ini dilarang beredar di era Soeharto atau Orde Baru?  Menurut saya kenapa buku ini dilarang di era tersebut, barangkali pemerintahan Orde Baru takut ketika masyarakat mulai bisa berpikir kalau hak atau kebebasan mereka sedang dirampas secara diam-diam. Lalu, apakah Madilog ini masih relevan sampai sekarang? Sebagai sebuah gagasan, menurut saya Madilog sudah tertinggal karena sudah banyak literatur yang membahas lebih dari Madilog. Selain itu, Madilog tak sempat tumbuh bersama wacana intelektual lain di masa Indonesia sekarang ini. Namun, tidak dapat dipungkiri sumbangan terpenting dari buku ini adalah ajakan Tan Malaka untuk berpikir rasional, ilmiah, dan segera beranjak dari kungkungan kepercayaan atas takhayul ‒ walaupun nyatanya masih kental di beberapa daerah di Indonesia ini.

***

Terima kasih sudah menyimak.

Kritik dan saran sangat saya tunggu.

***

 

Tentang Penulis

F. Yusuf, masih belajar menulis; pernah jadi tukang foto sama video.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Cermin

Kerinduan paling Agung

Memiliki Pemikiran Orisinal dengan Mencoba Memahami Esai Apio Ludd: Burn all Bible dan Boundaries