Gadis Pemimpi

Karya Tea

#1 ANGAN

 

"Ya, namanya juga anak perempuan. Sekolah tinggi-tinggi juga kan tetap aja baliknya nanti ke dapur lagi ke dapur lagi. Gak perlu lah kuliah mahal-mahal. Kalau gak kebiayain sampai lulus gimana? Dapat ijazah SMA aja udah cukup."

"Iya bener, anak perempuan itu enak sebenernya. Bakal dibahagiain sama suami. Cukup ngurus rumah aja kalo masalah nyari uang kan urusan suami."

Begitulah pemikiran 'kolot' keluargaku, di ruang tengah rumah tanteku, ibu, tante dan keluargaku yang lain sedang mengobrol sembari menyesap teh manis dan kue balok. Aku diam memerhatikan disalah satu kursi tunggal yang tidak jauh dari ruang tengah. 

Semua yang ada di sana tentu dapat melihatku dengan jelas, bagaimana aku menatap mereka dengan penuh prihatin dan kekesalan. Semua orang di keluargaku tahu bahwa aku anak perempuan pertama yang bertekad untuk kuliah apa pun yang terjadi. Bahkan di antara sepupu-sepupuku yang lain, akulah satu-satunya yang ingin bersekolah sampai perguruan tinggi. Memang, mereka tidak mengatakan bahwa obrolan tersebut ditujukan padaku. Tapi sebagai anak satu-satunya yang ingin berkuliah di keluarga ini, tentu aku akan sangat merasa bahwa hal tersebut ditujukan padaku. Paling menyakitkan adalah ketika ibuku sendiri tidak yakin akan impianku tersebut. Bahkan tidak mendukung aku kuliah hanya karena masalah biaya. 

Sepulang dari rumah tante ku aku memberanikan diri bicara pada ibuku perihal kuliah. 

"Bu, aku mau kuliah, doain aku, ya?" Ucapku dengan nada biasa. Ibu hanya menatapku sebentar lalu membuang pandangannya.

"Emang kamu punya uangnya? Siapa nanti yang mau bayar?" 

Sudah kuduga pertanyaan seperti itu yang akan keluar dari mulut ibuku setiap aku membicarakan soal kuliah.

"Bapak. Aku juga. Aku kan bisa sambil kerja." Berbeda dengan bapak. Tidak banyak bicara tapi aku tahu di dalam hati dan pikirannya beliau juga pasti menginginkan aku sekolah tinggi. Bapak orang yang sangat pekerja keras. Sejak kecil apa pun yang aku mau selalu Bapak berikan. Ada uang ataupun tidak selalu Bapak usahakan.

"Kuliah itu mahal Binta. Kalau gak kebiayai sampai lulus gimana? Udah aja lulus SMA langsung kerja. Gak perlu kuliah-kuliah. Kerja aja yang bener, banyak kok pabrik-pabrik yang nerima lulusan SMA." Jawabnya dengan nada yang sudah setengah marah. 

Kadang aku tidak mengerti mengapa ibu cepat sekali marah? Hanya karena aku membicarakan impianku? Memang apa salahnya jika aku memiliki mimpi yang tinggi? Atau mungkin terlalu tinggi untuk keluargaku yang terlalu berpikiran 'kolot'. Lalu untuk apa mereka bertanya 'Binta, impian kamu nanti kalau sudah besar apa?' saat aku masih kecil dulu? Jika sekarang aku sudah besar dan bertekad menggapainya mereka tidak mau mendukungku?

"Yang namanya uang itu bisa dicari, ibu. Tuhan pasti kasih rezeki jika itu untuk kebaikan. Lagian aku kuliah untuk apa? Untuk ngewujudin cita-cita aku, ibu. Untuk ngebahagiaan ibu, bapak, dan Lily juga. Memangnya ibu gak mau punya anak sarjana?!" Kepalang kesal aku pun membalas ibu dengan nada yang terdengar marah. 

"Bukannya ibu gak mau! Kamu kalau ngomong suka gak dipikirin dulu, ya? Siapa nanti yang bayar? Memangnya bapak kamu kerja apa sampai bisa biayain kamu kuliah?"

"Kan aku udah bilang nanti biar aku sambil cari kerja buat nambahin biaya kuliah. Anaknya mau kuliah bukannya didoain, didukung, malah kaya gini." 

"Terserah kamu kalau mau sambil kerja." Ibu pergi masuk ke kamarnya. Aku juga ikut pergi dan masuk ke kamarku. Tidak terasa air mataku sudah mengalir di pipi. Karena bagian yang paling sakitnya adalah saat seperti ini. Saat keluarga sendiri tidak ada yang mendukung anganku. Menganggap impianku adalah hal yang mustahil.

***

Namaku Binta Mega Aulia, si gadis pemimpi yang memperjuangkan mimpinya seorang diri tanpa dukungan keluarganya. Tapi aku bersyukur memiliki teman yang mengerti perasaanku, yang memiliki angan yang sama. Namun bedanya, mereka lebih beruntung karena mendapat dukungan dari keluarganya. Walau ada satu dua yang keluarganya juga ragu mengenai biaya, setidaknya keluarga mereka masih percaya akan angannya. 

Siang itu pulang sekolah aku bersama 4 temanku memilih makan terlebih dulu di kantin sekolah. Kami berlima sudah berteman dekat sejak kelas 10. Biar aku kenalkan dulu ya? Karena nantinya mereka akan ikut mengisi bagian dari kisah ini. Kisah si gadis pemimpi yang masih panjang ini.

Pertama, Gia. Anak perempuan ke 5 dari 7 bersaudara. Keempat kakaknya sudah bekerja dan keluarganya hidup berkecukupan. Dan menurutku dia tidak perlu lagi memikirkan masalah biaya kuliah. Lalu Janeta, yang lebih suka dipanggil Jane. Anak perempuan dan satu-satunya, yang artinya dia satu-satunya anak yang perlu dibiayai oleh orang tuanya. Semua kebutuhannya selalu terpenuhi. Tapi tidak pernah bisa memilih keinginannya sendiri. Ketiga, Luna. Anak pertama dan memiliki dua orang adik yang masih perlu dibiayai. Kedua orang tuanya bekerja dan yang pasti keduanya mendukung Luna masuk perguruan tinggi. Terakhir, Paula. Sepengetahuanku orang tuanya selalu memberikan uang yang cukup banyak setiap harinya. 

Kami berlima memiliki mimpi yang berbeda, tetapi memilih jalan yang sama dalam mencapainya, melalui perguruan tinggi. Bagiku, kuliah bukan hanya untuk mempersiapkan diri untuk bekerja. Banyak orang yang hanya tamatan SMA, SMK bahkan SMP tapi mendapatkan pekerjaan yang enak dengan gaji yang cukup, semuanya tergantung usaha. Karena rezeki masing-masing orang sudah ada yang menentukan. Tapi, kuliah bukan hanya untuk itu saja, melainkan untuk mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya. Bukan hanya ilmu sains, tapi juga ilmu hidup dan ilmu masa depan. Tempat di mana kita dipertemukan dengan banyak orang baru dengan latar belakang yang berbeda. Tempat di mana kita menemukan sudut pandang baru dari orang yang berbeda. Tempat di mana kita melatih diri untuk menjadi selayaknya manusia berilmu yang setidaknya mampu mengendalikan diri dan berwawasan luas.

Setidaknya nanti aku mampu menjadi orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan anakku kelak. Setidaknya aku mampu menjadi orang tua yang dapat mendukung keinginan dan mimpi anakku. Setidaknya aku dapat menjadi orang tua yang mendidik anakku bukan dengan amarah tetapi dengan ilmu. Karena mencari ilmu bukan hanya untuk uang tetapi juga untuk bekal. 

"Aku udah bilang ke papa soal aku mau ngelanjutin masuk jurusan Ilmu Sosial jadinya." Kata, Luna. Memang kemarin kita sudah sepakat untuk membicarakan masalah jurusan yang akan diambil di perguruan tinggi nanti. Aku rasa hanya akulah satu-satunya yang belum membicarakan ini dengan orang tuaku. Jangankan fakultas dan jurusan, masalah lanjut kuliah saja masih menjadi pembicaraan yang aku hindari dengan orang tuaku. Aku malas jika harus bertengkar lagi. 

"Terus gimana?" 

"Ya biasalah jawabannya papa aku banget. 'Iya boleh gimana kamu maunya kemana kalo emang udah kamu pikirin mateng-mateng, tapi saran papa sih mending masuk STKS aja'." 

"Papa kamu pengen banget kayanya kamu masuk STKS." Sahut, Gia.

"Iya deh kayanya. Tapi aku udah fix mau masuk PTN."

"Aku juga mau masuk Antropologi. Udah fix sih, tapi keluarga aku nyaranin masuk Ekonomi." Jane si anak satu-satunya. Orang tuanya selalu ingin yang terbaik untuknya, tapi dia tidak pernah bisa memilih keinginannya sendiri.

"Terus kamu mau?" Tanya, Paula. Aku diam memerhatikan ke empat temanku bercerita. 

"Gak tahu. Tapi aku fix pengen masuk Antropologi. Plis lah aku udah gede, udah mau masuk kuliah tapi masih aja diatur ini itu sama keluarga aku. Kayanya buat yang ini aku gak bisa ngikutin mereka deh." Aku senang Jane sudah mulai mau memperjuangkan pilihannya. Bukan aku senang dia tidak menurut pada orang tuanya, aku hanya senang karena akhirnya dia berani untuk memilih pilihannya sendiri.

"Kamu jadi masuk Sastra Arab, La?" Tanya, Gia. Paula memang berniat mengambil Sastra Arab. Sempat kaget karena yang kami tahu Paula pintar Bahasa Inggris dan juga senang membaca buku tentang hukum. Makanya awalnya kami kira Paula akan mengambil Sastra Inggris atau Hukum.

"Belum fix sih. Masih banyak yang harus dipikirin mateng-mateng." 

"Kalo kamu, Gi? Jadinya masuk mana?" Tanyaku yang sedari tadi diam memerhatikan. Gia mengalihkan pandangannya padaku seraya tersenyum memamerkan gingsulnya. 

"Nanti kita satu jurusan ya, Ta, Akuntansi." Katanya. 

Saat seperti ini, semangatku untuk bisa masuk PTN kembali menggebu, rasanya jika sudah membicarakan tentang kuliah bersama mereka terasa sangat menyenangkan. Membayangkan kita akan masuk ke PTN yang sama dengan fakultas yang berbeda-beda. Lalu membuat janji bertemu di kantin dan membahas ini itu tentang fakultas masing-masing. Ya Tuhan, semoga angan kami tidak hanya sekedar angan.

Kita semua punya mimpi, mimpi yang katanya harus setinggi langit. Tidak masalah jika harus jatuh dan gagal, karena kesempatan kedua akan selalu ada untuk mereka yang berusaha. Terkadang aku tidak setuju dengan apa kata orang 'Jangan terlalu berharap ketinggian deh. Nanti kalo jatuh sakitnya bukan main.' 

Memang benar jika kita berharap terlalu tinggi kemudian gagal pasti akan terasa sakit. Tidak ada jatuh yang tidak sakit, tidak ada gagal yang tidak perih. Tapi, dengan adanya kegagalan itu kita akan dapat lebih memahami arti dari sebuah perjuangan, arti dari kesuksesan yang sebenarnya. Sukses bukan hanya sekedar hidup mapan atau memiliki jabatan. Tetapi ketika kita bisa bangun dari kejatuhan, ketika kita bisa bangkit dari kegagalan maka ketika itu pula kita telah berada diambang kesuksesan. 

"Tapi aku ragu bisa masuk Akuntansi, sih. Setahu aku passing grade Akuntansi cukup gede." Lanjut, Gia.

"Ya berusaha dulu dong, Gi. Jangan lupa berdo'a. Pokonya kita harus bisa masuk jurusan yang kita impikan." Jawab Jane dan diangguki yang lainnya.

"Kalo Binta aku yakin masuk sih. Kamu pinter soalnya, Ta."

Aamiin. Kamu juga pasti masuk, Gi. Kita semua pasti bisa." Jawabku.

“Iya semoga saja, ya. Nanti kita belajar bareng, ya.” Aku mengangguk mengiyakan, yang lainnya juga sama.

"Binta, sebenernya di antara kita semua, kamu itu yang paling pintar sebenernya. Cuma kamu gabungnya sama kita-kita yang gak sepintar kamu. Kadang aku ngerasa kamu gak seharusnya temenan sama kita yang malah sering ngerepotin kamu dengan nanya ini itu. Jujur sebenernya aku juga gak yakin bisa satu jurusan sama kamu ngambil Akuntansi mengingat banyaknya peminat dan daya tampung yang sedikit. Tapi kalau kamu aku yakin pasti masuk."

Tentu saja aku sangat tidak setuju dengan apa yang diucapkannya padaku, "Apaan sih. Gak gitu juga kali. Setiap orang pintar dalam bidangnya masing-masing. Aku juga yakin kok kamu pasti bisa. Kita belajar bareng-bareng ya? Orang pintar juga bisa kalah sama orang kurang pintar tapi rajin dan mau berusaha. Aku gak mau ya, ada yang ngomong kaya gitu lagi. Aku beruntung punya temen kaya kalian.”

Memang benar setiap orang pintar dalam bidangnya masing-masing, tidak ada orang yang pintar dalam segala hal. Ada orang yang pintar Fisika tapi tidak bisa bermain musik. Ada orang yang tidak pintar matematika tapi jago melukis. Ada orang yang tidak pintar Bahasa Inggris tapi jago memasak. Semua orang dilahirkan dengan kepintaran yang berbeda. Contohnya saja teman-temanku. Mereka merasa minder karena katanya aku lebih pintar dari mereka. Tapi, mereka tidak tahu betapa mindernya aku terhadap kelebihan mereka yang menjadi kelemahanku. 

Aku iri pada Gia yang pandai public speaking, bahkan bagi orang yang baru bertemu dengannya pasti akan langsung terasa akrab karena Gia yang ceria dan pandai bergaul. Aku iri pada Luna yang memiliki bakat seni. Gambar-gambarnya, ide-ide kreatifnya bahkan pada tulisan tangannya yang begitu rapi dan tersusun yang tidak aku miliki. Aku iri pada Jane yang pandai menari dan acting, bisa merespon sesuatu dengan cepat dan selalu mampu menjadi pendengar yang baik bagi yang lain. Aku iri pada Paula yang pandai berargumen dan berpikir kritis.

Tapi dibalik itu semua kami bisa saling melengkapi satu sama lain. Saling mendukung untuk menggapai mimpi, Bersama-sama. 

Lalu aku menceritakan tentang masalahku dengan ibuku yang tidak bisa mendukungku untuk kuliah. Mereka bilang, setidaknya perlihatkan tekadku itu di depan ibu. Karena yang namanya orang tua pasti ingin selalu yang terbaik untuk anaknya, begitupun ibuku. Beliau bukan tidak mau mendukungku, tapi terlalu banyak beban pikirannya mengenai keuangan keluarga kami yang mungkin tidak akan mencukupi untuk membiayai kuliahku. Mereka bilang, coba perlihatkan betapa kerasnya aku belajar untuk bisa masuk PTN, betapa yakinnya aku untuk menggapai cita-citaku. Lama-lama hati ibuku pasti akan luluh juga melihat betapa keras perjuangan anak sulungnya menggapai mimpi. 

Maka mulai dari situ, aku tambah yakin untuk berkuliah dan menggapai cita-citaku. Aku juga yakin bahwa ibu pasti akan ikut mendoakanku. Mendoakan yang terbaik untuk putrinya. Sekarang aku sudah sangat yakin untuk berusaha keras agar bisa masuk PTN hingga menyandang gelar sarjana. Akan aku buktikan pada ibuku bahwa putrinya bisa jadi sarjana dengan uang yang pas-pasan. Akan aku buktikan pada keluargaku bahwa perempuan juga harus berpendidikan dan berwawasan luas. Akan aku buktikan bahwa aku pasti bisa.


Editor: Yussup S.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Cermin

Kerinduan paling Agung

Memiliki Pemikiran Orisinal dengan Mencoba Memahami Esai Apio Ludd: Burn all Bible dan Boundaries