Memori dalam Rintik Hujan

 Karya Ega Mutiara Amanta



            Sore itu, langit menurunkan setetes demi setetes air yang lama kelamaan tak kuat dibendungnya lagi. Keadaan yang selalu memaksa memori itu merasuki pikiranku.

“Kau ini kebiasaan, Febri! Selalu memandang setiap tetes yang jatuh ke tanah tanpa lengah,” sahut Raka, rekan kerjaku sembari membuyarkan lamunanku.

“Kau menggangguku saja! Terlalu banyak memoriku dengan hujan sejak saat itu,” jawabku dengan tetap melihat rintik hujan dari balik jendela kafe.

 

***

 

Tepat satu tahun setelah orde baru runtuh, aku dipaksa berhenti oleh manajerku. Tak satu pun pahlawan bernominal yang diberikan oleh kantorku. Di saat yang sama, Rini, kekasihku yang sudah bersama sejak tiga tahun lalu tiba-tiba mengirim undangan dengan lelaki yang bukan aku. Air langit yang tak terbendung seakan menyiratkan hati kecilku yang tak tahu harus berbuat apa. Aku berjalan menyusuri jalanan kota dan tak tahu harus kemana. Mataku menerawang ke depan, terihat sebuah halte yang melambaikan tangannya padaku, seakan tak kuasa melihatku menggigil di bawah derasnya hujan. Pikiranku kalut. Rasanya ingin mengadu, namun pada siapa? Ayah dan Ibuku bahkan tidak pernah memedulikanku sejak dulu. Saudaraku? Ah, anak semata wayang bagaimana punya saudara. Hidup di jalanan sudah tak asing bagiku, bahkan ia saksi bisu atas seluruh hidupku yang sebatang kara. Mengakhiri hidup terlintas di pikiranku. Mau apa lagi? Tak ada siapapun yang dapat kujadikan tempat berlindung. Mungkin halte ini saja yang mau menampungku. Namun tetap saja, ia tak bisa menjawab segala tanda tanyaku. Kuputuskan untuk melangkah dan mengarungi derasnya hujan. Toh, tak ada yang peduli, bukan?

“Hey! Jangan kau bermandikan hujan, nanti kau sakit,” perempuan setinggi bahuku tiba-tiba memberikan payung kepadaku. Ternyata ia adalah ojek payung dekat kantorku. Maksudku, bekas kantorku.

“Tak apa, terima kasih atas tawaranmu. Aku tidak punya rupiah sepeser pun untuk membayarnya. Lagi pula, aku tak butuh payungmu,” jawabku seraya tetap melangkah ke depan.

“Aku Tiara. Kau tak perlu membayarnya untuk kali ini,” sahutnya sambil berlari kecil dan berhenti tepat di depanku dengan mengulurkan tangannya. Terpaksa aku pun berhenti dan mengulurkan tanganku padanya. Mau apa, sih, wanita ini? Hanya membuat pikiranku semakin kalut saja.

“Aku Febri. Namun untuk sekali lagi kutegaskan, aku tidak butuh payungmu!” jawabku ketus.

“Aku hanya ingin kau memakai payungku, dan berteduh sebentar di bilik kecilku sebelah sana,” jawabnya sambil menunjuk sebuah rumah sederhana di ujung jalan. Aku terpaku. Untuk pertama kalinya, ada orang yang peduli padaku, bahkan jauh lebih peduli dibanding rekan kerjaku. Maksudku, lagi, mantan rekan kerjaku.

“Terima kasih atas tawaranmu, aku tak ingin merepotkan,” jawabku yang akhirnya tersenyum kecil padanya.

“Terima kasih, senyumanmu membuatku ingin kau tetap mampir ke rumahku, hanya sampai hujan berhenti. Aku tak menerima penolakan lagi,” sahutnya sambil tersenyum manis kepadaku. Senyuman yang paling menggetarkan hatiku. Dengan rasa iba dan sedikit penasaran, aku pun mengikutinya dari belakang menuju ke rumah sederhananya.

“Duduklah. Aku ambilkan handuk dan baju kering untukmu. Kau tak pantas basah kuyup seperti ini,” katanya sembari berjalan ke satu ruangan yang kurasa itu kamarnya. Hatiku tak pernah bergetar sehebat ini. Rini pun tak mampu membuatku seperti ini. Perempuan hebat itu, mulai mengubah duniaku kembali. Bagaimana bisa ia peduli pada orang yang tak ia kenal sekalipun? Bahkan diriku sendiri sulit untuk berbuat baik pada rekan kerjaku dulu.

“Kamar mandi sebelah sana, kau bisa mengeringkan tubuhmu dan ganti bajumu. Aku tunggu kau sembari membuatkan teh hangat untukmu,” dengan tiba-tiba ia menyodorkan handuk dan baju kering sambil berlalu menuju dapurnya.

“Terima kasih, belum pernah ada perempuan sebaik kau,” sahutku spontan.

“Kau lebay!” katanya sambil tertawa kecil yang membuat hatiku luluh. Tak terkalahkan.

Ia kembali membawa nampan dengan dua cangkir teh hangat dan kue bolu.

“Silakan. Hujan masih deras. Rumahmu di mana?” tanyanya.

“Rumahku di tanah ini, beratapkan langit dengan permadani rumput yang hijau,” jawabku sambil menatapnya. Ia terdiam dan menatapku seolah tak percaya bahwa aku tak punya rumah.

“Rumah paling indah,” katanya, yang mengejutkanku karena selama ini, orang yang ku temui selalu menganggap bahwa aku rendah, kotor, dan tidak memiliki harga diri. Hatiku semakin bergetar melihat wajahnya yang tak cantik, namun senyumnya mengalahkan manisnya gula.

Tak lama berbincang dengannya, pintu ruang tamu diketuk oleh seseorang dari luar.

“Siapa ini?” tanya lelaki yang baru datang.

“Temanku, namanya Febri. Tadi kami bertemu di jalan. Ia basah kuyup karena kehujanan.” Jawab Tiara. Aku hancur melihatnya ternyata sudah memiliki lelaki lain.

“Ia adikku, namanya Raka,” jelas Tiara tanpa aku harus bertanya padanya. Sedikit lega, namun masih banyak tanda tanya di benakku tentang Tiara.

 

***

           

“Hey! Kau benar-benar tidak fokus, Feb! Besok kita akan bertemu dengan klien, kita harus maksimal. Bagaimana kau ini?” kata Raka yang hampir membentakku.

            “Kau ini benar-benar, ya, tidak ada baik-baiknya dengan bosmu. Mentang-mentang kau adik iparku. Oke, aku akan mulai fokus untuk sekarang. Bagaimana, Pak Raka?” jawabku bercanda kepadanya.

            Gawaiku berbunyi.

            Anda memiiki satu pesan teks.”

            “Mas, kalau sudah selesai meeting, langsung pulang, ya. Aku membuat satai goreng kesukaanmu. Kecup jauh, Tiara, istrimu yang paling cantik sedunia!”

 


 Editor: F. Yussup

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Cermin

Kerinduan paling Agung

Memiliki Pemikiran Orisinal dengan Mencoba Memahami Esai Apio Ludd: Burn all Bible dan Boundaries