Memori dalam Rintik Hujan
Karya Ega Mutiara Amanta Sore itu, langit menurunkan setetes demi setetes air yang lama kelamaan tak kuat dibendungnya lagi. Keadaan yang selalu memaksa memori itu merasuki pikiranku. “Kau ini kebiasaan, Febri! Selalu memandang setiap tetes yang jatuh ke tanah tanpa lengah,” sahut Raka, rekan kerjaku sembari membuyarkan lamunanku. “Kau menggangguku saja! Terlalu banyak memoriku dengan hujan sejak saat itu,” jawabku dengan tetap melihat rintik hujan dari balik jendela kafe. *** Tepat satu tahun setelah orde baru runtuh, aku dipaksa berhenti oleh manajerku. Tak satu pun pahlawan bernominal yang diberikan oleh kantorku. Di saat yang sama, Rini, kekasihku yang sudah bersama sejak tiga tahun lalu tiba-tiba mengirim undangan dengan lelaki yang bukan aku. Air langit yang tak terbendung seakan menyiratkan hati kecilku yang tak tahu harus berbuat apa. Aku berjalan menyusuri jalanan kota dan tak tahu harus kemana. Mataku menerawang ke depan, terihat sebuah halte y